BANDARLAMPUNG | PotretKasus.com – PENGAMAT Hukum Universitas Lampung (Unila), Dr. Budiono, SH. MH berharap hasil keputusan (vonis sidang,red) oleh majelis hakim Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) atas dugaan pelanggaran kode etik terhadap dua Komisioner Bawaslu Tulangbawang (Tuba) tetap merujuk kepada fakta pada proses persidangan sebelumnya.
Artinya, jika dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh dua Komisioner Bawaslu Tuba tersebut sampai terbukti maka sanksi tegas oleh majelis hakim DKPP harus dijatuhkan.
“Jangan sampai vonis atau sanksi yang dijatuhkan bisa menimbulkan pertanyaan dan ketidakpercayaan publik atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan pihak pengadu,” jelas Budiono saat dihubungi Koran Editor, Minggu (15/10).
Selain itu, Budiono menjelaskan hal tersebut juga bisa menjadi pembelajaran bagi komisioner Bawaslu lainnya untuk tidak melakukan pelanggaran khususnya Undang-undang tentang Pemilu.
“Ini bisa jadi preseden buruk di internal Bawaslu yang notabene-nya sebagai penyelenggara Pemilu jika sampai benar-benar terjadi yakni dugaan pelanggaran kode etik yang dimaksudkan sampai terbukti,” tandas Budiono lagi.
Hal senada juga disampaikan Timsel Bawaslu Provinsi Lampung, Yusdianto, SH.MH. Dirinya pun dengan tegas menyebutkan jika persoalan internal yang terjadi di Bawaslu Tuba itu, menurutnya adalah kesalahan yang awalnya bermula atas perilaku masing-masing personal sehingga mengakibatkan adanya dugaan pelanggaran kode etik dimaksud.
“Artinya tidak akan ada asap jika tidak ada api,” tandas Yusdianto yang juga Dosen Fakultas Hukum Tata Negara Unila kepada koran ini saat dihubungi via telepon kemarin.
Terkait kasus itu, lanjut Yusdianto, majelis hakim DKPP dituntut cermat dan jeli khususnya mengungkap kebenaran sesuai fakta dipersidangan. Sehingga, lanjut dia, keputusan vonis yang dijatuhkan pada sidang vonis nantinya, harus tegas dan memberikan efek shock therapy bagi anggota komisioner Bawaslu lainnya sehingga tidak melakukan kesalahan atau pelanggaran serupa.
“Polemik yang terjadi di internal Bawaslu Tuba berawal dari konflik internal antara pihak sekretariat dengan pihak komisioner. Tentunya ini yang mesti dicari fakta dan kebenaran tentang siapa yang bersalah di dalam melakukan tugas dan fungsinya masing-masing, jangan sampai hal ini berlarut-larut dan menjadi contoh tidak baik buat komisioner lainnya,” imbuh Yusdianto panjang lebar.
Terlebih, imbuh Yusdianto, Bawaslu yang notabene-nya selaku pihak penyelenggara Pemilu dituntut harus mampu bersikap profesional dengan menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
“Jangan sampai tingkat kepercayaan masyarakat menurun kepada pihak Bawaslu ketika menyikapi keputusan sidang DKPP nantinya yang dianggap ringan padahal fakta persidangan terungkap sebaliknya,” imbuhnya lagi.
Seperti diketahui sebelumnya, majelis hakim DKPP menggelar sidang dugaan kode etik di kantor KPU Provinsi Lampung terhadap dua komisioner Bawaslu Tuba masing-masing, A. Rachmat Lihusnu, SE.MM dan Desy Triyana, S.Kom dengan status teradu (terlapor,red).
Dalam sidang tersebut kedua sepakat kompak membantah tentang adanya pengaduan dari pihak pengadu, Adhel Setiawan yang ikut hadir dalam sidang tersebut.
Dalam laporan aduan yang diberikan kepada pihak DKPP itu, Adhel Setiawan melaporkan tentang tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dua komisioner dimaksud antara lain dugaan pungutan liar (pungli) atas proses rekrutmen calon anggota Panwascam di salah satu kecamatan yang ada di Tuba dimana calon anggota Panwascam yang lolos diwajibkan menyetorkan dana sebesar Rp. 2 juta.
Pengaduan lainnya yakni dugaan tugas dan intervensi terhadap Koordinator Sekretariat (Korsek) Bawaslu Tuba, Fardhoriyansyah, SH. MH serta adanya dugaan intervensi atas tugas dan kinerja Bendahara Bawaslu setempat hingga yang bersangkutan mengundurkan diri.
Namun, saat sidang pemeriksaan DKKP digelar, hakim pemeriksa menyatakan bukti-bukti yang dilampirkan pihak pengadu dinilai lemah atau kurang sehingga pihak majelis DKPP memberikan waktu selama 2 hari kepada pengadu, Adhel Setiawan untuk mengumpulkan kekurangan bukti dimaksud.
“Kita fokus mengumpulkan bukti tambahan yang diminta majelis DKPP dan sesuai waktu 2 hari yang diberikan. Dan tambahan bukti dimaksud sudah kita serahkan,” jelas Adhel Setiawan kemarin.
Harapannya, Adhel meminta kepada pihak majelis hakim DKPP dapat memberikan sanksi tegas berupa pemecatan kepada dua komisioner Bawaslu Tuba dimaksud yang menurutnya sudah melanggar kode etik selaku Komisioner Bawaslu.
“Ada beberapa pasal yang dilanggar dan semuanya secara lengkap sudah kita lampirkan dan sudah kita berikan kepada DKPP,” tandas Adhel.
Masih menurut Adhel, beberapa Pasal yang dilakukan kedua komisioner tersebut yaitu Pasal 6 dan 15 Peraturan DKPP No 2 Tahun 2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilihan umum dan Pasal 34 ayat (2) huruf o Peraturan Bawaslu No 3 Tahun 2002 tentang tata kerja dan pola hubungan pengawas pemilihan umum.
Selain itu, pasal lainnya yang dilanggar yakni Pasal 1 Undang – undang No 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum.
Dilain pihak, Korsek Bawaslu, Fardhoriyansyah, SH.MH yang saat ini statusnya sudah diberhentikan statusnya selalu Korsek Bawaslu Tuba atas pleno kedua komisioner tersebut yang dianggap non prosedural tersebut juga diketahui sudah memberikan kesaksiannya dihadapan sidang majelis hakim DKPP beberapa waktu lalu.
“Semua sudah saya jelaskan dengan sebenar-benarnya dengan bukti cukup di depan majelis, harapan saya pada sidang keputusan oleh majelis DKPP mendatang bisa menghasilkan sanksi tegas sehingga masyarakat dapat percaya atas kinerja dan tugas Bawaslu kedepan selaku penyelenggara pemilu,” tandas Dori sapaan akrabnya kemarin singkat. Dilansir dari media Koraneditor.id. (Red)